Dalam pembahasan kitab Ngidlotun Nasyiin, seseorang yang kehilangan semangat di kehidupan sehari-hari, sering diibaratkan seperti orang yang “tidur”. Mereka tidak benar-benar hidup namun juga tidak mati (لا يحي ولا يموت), berada di antara kedua kondisi tersebut. Fenomena ini bisa terjadi pada individu maupun kelompok. Ada saat-saat di mana seseorang merasa penuh semangat, tetapi ada pula masa di mana rasa malas dan lemah menguasai dirinya.
Contoh sederhana bisa kita lihat di lingkungan pondok pesantren. Terkadang, para santri malas mengikuti shalat berjamaah, malas mengaji, atau malas untuk hafalan. Namun, ada juga saat di mana semangat mereka membara, dan saling berlomba-lomba. Pertanyaannya adalah, mana yang lebih sering menang—semangat atau kelemahan? Dan bagaimana seharusnya kita menghadapi masa-masa ketika rasa lemah itu datang?
Seperti umat yang kehilangan semangat dalam menjalani hidup, ketika kita “dikalahkan oleh tidur”, banyak kesempatan yang akhirnya terlewatkan. Dalam diri setiap manusia, ada dua kekuatan utama, Dimana satu yang melemahkan dan satu yang membangkitkan. Kedua kekuatan ini selalu bertentangan, tidak mungkin hadir bersamaan, ibaratnya listrik yang tidak bisa menggabungkan arus positif dan negatif dalam satu titik.
Baik semangat maupun kelemahan memiliki penyebabnya masing-masing. Yang menarik, meskipun penyebabnya tampak berbeda, hasil akhirnya selalu sama. salah satu akan mendominasi hati kita, entah semangat yang menggerakkan atau kelemahan yang menggerogoti. Semua tergantung pada bagaimana kita memutuskan hal tersebut pada diri kita.
Jadi, apa sebenarnya yang menjadi penyebab seseorang merasa lemah atau penuh semangat? Pertanyaan ini akan menjadi pembahasan menarik dalam pengajian rutinan Bandongan Kitab Ngidzotun Nasyi’in pada Jumat mendatang.
Pengajian Kitab Ngidzotun Nasyi’in, Bersama KH. Hakim An-Naisaburi, Lc. Pada Jum’at, 9 Januari 2024.