Di akhir zaman ini, hanya demi memuaskan hasrat semata cukup banyak bermunculan fenomena seperti halnya zina. Mirisnya bukan sekedar terjadi pada orang-orang dewasa, bahkan ada juga anak-anak muda yang merelakan masa lajang mereka dengan melakukan sesuatu yang diharamkan syari’at. Apalagi saat ini semuanya dapat dipercepat dengan adanya teknologi digital yang bisa saja disalah gunakan. Padahal perbuatan perbuatan tersebut sangat melenceng dari aturan syari’at. Hal itu telah di nas dalam Al Qur’an surah al-Isra’ ayat 32
ولا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
Artinya:“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”
Islam melarang keras perzinaan karena dapat memutus rantai nasab. Sebab Islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi persoalan nasab (keturunan). Sehingga apabila terjadi hal demikian dan berujung pada kehamilan, janin yang berada dalam kandungan tersebut setelah lahir akan dipertanyakan siapa ayahnya dan kemana nasabnya akan menyambung meskipun jelas siapa yang menghamili.
Bahayanya, anak pezina jika suatu saat menikah akan sulit mencari wali nikahnya dan berpotensi pernikahan sedarah. Hal ini sebagai akibat menasabkan anak di luar nikah kepada orang tua biologisnya. Potensi ini bisa saja terjadi bilamana orang tua tidak menjelaskan secara terbuka terkait status anaknya tersebut dengan beralasan malu atau lain sebagainya.
Dan bagaimana status anak tersebut? Hal ini pernah dibahas dalam suatu kajian fiqh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin terkait persoalan-persoalan masalah anak pezina.
Adapun wali bagi anak yang ayahnya tidak di ketahui siapa karena ia adalah anak dari seorang pezina maka walinya adalah wali hakim. wali hakim, yaitu pejabat pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau yang mewakilinya sampai tingkat daerah yakni pejabat Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam kitab bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid yang di tulis oleh ibnu rusyd halaman 142 mengatakan:
وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ
Artinya:
“Jumhur ulama sepakat bahwasannya anak-anak yang terlahir sebab perzinaan itu tidak dapat menyertakan bapaknya kecuali pada zaman jahiliyah. Diriwayatkan dari Umar bin khatab atas perbedaan pendanpat antara para sahabat pada permasalahan tersebut.”
Dilanjutkan dengan permasalahan status anak tersebut dalam kitab ianatut thalibin ala hali alfadhi fathul muin, halaman 146 di jelaskan bahwa status anak hasil perzinaan itu nasabnya tidak kembali kepada bapaknya, akan tetapi nasabnya kembali kepada ibunya
(قَوْلُهُ: وَيَقُولُ فِي وَلَدِ الزِّنَا الْخُ) أَيْ لِأَنَّهُ لَا يُنْسَبُ إِلَى أَبٍ، وَإِنَّمَا يُنْسَبُ إِلَى أُمِّهِ
Sebelumnya, yang dimaksud dengan wali nikah yaitu orang yang berhak menikahkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki pilihannya. Adapun Salah satu syarat sah nikah yaitu adanya wali yang secara mutlak berhak menikahkan atau mewakilinya. Kesalahan penentuan wali, beresiko akad nikah tidak sah. Berikut 3 kelompok yang berhak menjadi wali.
- Wali nasab, wali yang berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan dikawin.2.
- Wali mu’thiq, orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakan.3.
- Wali hakim, orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Sebagaimana dawuh nabi dalam hadits dari Asiyah menurut riwayat Al-Qurthniy.
لا نِكَاحَ الَا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
Artinya: “Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil.”
Dan siapakah saja yang bisa menjadi wali nikah?. Dalam kajian kitab fiqh menuturkan pendapat dari syaikh abi syuja’ dalam kitabnya yang berjudul Fathul Qoriib al mujib halaman 228
(وَأَوْلَى الْوُلَاةِ) أَيْ حَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيجِ (الْأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ) ثُمَّ أَبُوهُ وَهَكَذَا. وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ مِنْ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ، (ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ) وَلَوْ عَبَّرَ بِالشَّقِيقِ لَكَانَ أَحْصَرَ، (ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ، ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ) وَإِنْ سَفُلَ، (ثُمَّ ابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ) وَإِنْ سَفُلَ، (ثُمَّ الْعَمُّ) الشَّقِيقُ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِ، (ثُمَّ ابْنُهُ) أَيْ ابْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ)، فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيقُ عَلَى ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِ.
(فَإِذَا عُدِمَتْ الْعَصَبَاتُ) مِنْ النَّسَبِ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتَقُ) الذَّكَرُ، (ثُمَّ عَصَابَتُهُ) عَلَى تَرْتِيبِ الْإِرْثِ. أَمَّا الْمَوْلَاةُ الْمُعْتَقَةُ إِذَا كَانَتْ حَيَّةً فَيُزَوِّجُ عَتِيقَتَهَا مَنْ يُزَوِّجُ الْمُعْتَقَةَ بِالتَّرْتِيبِ السَّابِقِ فِي أَوْلِيَاءِ النَّسَبِ. فَإِذَا مَاتَتْ الْمُعْتَقَةُ زَوَّجَ عَتِيقَتِهَا مَنْ لَهُ الْوَلَاءُ عَلَى الْمُعْتَقَةِ ثُمَّ ابْنُهُ ثُمَّ ابْنُ ابْنِهِ، (ثُمَّ الْحَاكِمُ) يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنْ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ.
Singkatnya, yang diringkas dalam matan kitab tersebut bahwa diutamakan seorang wali yaitu bapak, kakek, saudara laki-laki sebapak dan seibu, sudara laki-laki sebapak, paman, anak laki-lakinya paman, dan ini harus berurutan. Jika tidak ada ashobah, maka walinya yaitu orang yang memerdekakan hamba sahaya, kemudian ashobahnya maulal mu’tiq, kemudian hakim.
Adapun hukum menikahi perempuan zina telah di terangkan dalam kitab nihayatuzain halaman 300.
وَيُكْرَهُ نِكَاحُ بِنْتِ الزِّنَا وَالْفَاسِقِ وَلَقِيطَةٍ وَمَنْ لَا يَعْرِفُ أَبُوهَا
Artinya:
” Dimakruhkan menikahi seorang perempuan zina, fasiq, laqitoh (anak temuan perempuan), dan orang yang tidak diketahui bapaknya.”
Demikian, bahaya dampak dari perzinaan yang mana tidak hanya berdampak pada pelakunya tapi juga keturunannya.
***