Apasih yang terlintas di pikiran kalian Ketika mendengar kata “santri”?
Sederhana? Mengantri? Pesantren? Sarungan? Ya Memang tidak ada yang salah. Sebuah julukan yang sudah familiar ditelinga kita, bahkan ditetapkan sebuah hari khusus untuk para santri.
Kaum yang identik dengan sarung ini, tentunya memiliki aura tersendiri dalam menjalani kehidupan. Karna telah digembleng sejak awal di lingkungan yang diibaratkan miniature Masyarakat. Masalah yang dihadapipun dapat diselesaikan secara intuisi berdasarkan syariat Islam.
Kitab kuning yang menjadi kajian santri adalah peninggalan ulama ratusan tahun lalu, tetap relevan sebagai acuan memahami dan mengimplementasikan sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Namun, seiring berjalannya waktu, santri harus menyesuaikan dengan zaman. Hukum dan aturan tidak boleh stagnan karena masalah baru terus muncul yang memerlukan penyelesaian berdasarkan analogi dari masalah yang sudah pernah terjadi.
Sehingga memunculkan Perbedaan antara santri zaman dahulu dan sekarang. Melihat di era digitalisasi ini, segala lini masyarakat, termasuk santri, terkena dampaknya. Tim redaksi berhasil mewawancarai KH. Khayatul Makky, salah satu masyayikh pondok pesantren Tanbihul Ghofilin, yang menjelaskan perbedaan ini. Menurut beliau, media sosial sekarang menjadi sarana komunikasi yang sangat mudah.
“Zaman sekarang, dengan adanya Media sosial itu adalah sarana penghubung komunikasi dari satu tempat ke tempat lain, dari satu orang ke orang lain dengan mudahnya.”
Jadi, karna media social inilah membut kemudahan untuk mengakses informasi antara wali santri dengan putra putrinya Ketika ada di pesantren. tidak seperti zaman dahulu yang harus menunggu waktu liburan untuk dapat melihat anaknya.
Karna segala kemudahan yang diberikan inilah, membuat para santri zaman sekarang kurang dalam rasa keprihatinan.
“Santri zaman dahulu penuh dengan keprihatinan yang semua serba manual. Masak sendiri, liwet (masak nasi), juga cuci baju sendiri. Santri sekarang kurang prihatin. Kalau dulu banyak prihatinnya semisal saya dari rumah bawa beras, berangkat ke Tuban, Jawa Timur. Sangunya sepetil (uang sakunya sedikit). Maka hal inilah yang membuat santri penuh dengan keprihatinan. Mending puasa daripada kelaparan. Tujuannya karna ketiadaan itulah membuat kita menjalankan puasa, istilahnya ngirit untuk makan besok.” Tutur Abah Khayat, sembari mengingat masa-masa nyantrinya dulu.
“Namun jika dilihat dari sisi akhlak, santri zaman sekarang masih bagus akhlaknya. Santri millennial dapat menyesuaikan pengaruh globalisasi dengan ilmu yang sudah dikaji di pesantren.” tambah beliau
Melihat dunia luar yang begitu mengerikan, jika tidak dibentengi dengan ilmu agama yang kuat, akan memberikan pengaruh yang negatif. Maraknya pergaulan bebas akan merusak generasi muda.
Lalu Kembali berbicara mengenai media sosial, beliau menjelaskan “Masalah media sosial, adalah tergantung penggunanya. Makanya di pondok pesantren kita diajarkan untuk belajar akhlak. Memilah antara yang benar dan salah. Jika kita sudah belajar hal itu, diharapkan kita bisa memilah konten konten positif dan negatif. Sehingga bisa mengelola media sosial dengan arif dan bijaksana.”
Jadi, meskipun santri zaman sekarang hidup di era yang serba mudah, mereka tetap memiliki tantangan baru yang memerlukan kebijaksanaan dan pengetahuan agama yang kuat. Hal ini penting agar mereka tetap bisa menjaga kemurnian ajaran Islam sambil menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
***
(ans)