Wanita Dan Karir
dalam permasalan wanita karir atau wanita yang bekerja, para ulama sepakat bahwa dia (wanita) tersebut haruslah mendapatkan izin dari suaminya. adapun pelanggarannya atas kewajiban tersebut dapat dipandang sebagai nusyuz. Menurut M. quraish shihab dalam bukunya, dengan jelas beliau menyebutkan bahwa tidak ditemukan satu teks keagamaan yang jelas dan pasti, baik dalam alquran maupun assunah yang mengarah kepada larangan bagi perempuan untuk bekerja, walaupun itu di luar rumahnya.
Pendapat ini juga sejalan dengan pemikiran K.H. Husuein Muhammad dalam bukunya berjudul fiqh perempuan. Allah SWT berfirman yang artinya:
“ Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki – laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka pastilah kami berikan kepada mereka kehidupan yang baik. Kami pasti akan memberikan kepada mereka pahala yang lebih baik dari hasil pekerjaan mereka.”
Ayat diatas dianggap mutlak, artinya baik laki – laki maupun perempuan akan diberi pahala atas apa yang mereka usahakan dan kerjakan. Dalam masalah kewajiban nafkah dan biaya seorang istri, sepenuhnya ditanggung oleh suami dalam segi pangan (makanan) sandang, dan papan. Ini merupakan bentuk relasi sosial berkeluarga dimana suami mendapatkan hak pelayanan penuh dari istri . Al- quran dengan sangat jelas menyatakan hal tersebut
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“….dan kewajiban ayah adalah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu anaknya dengan cara yang ma’ruf…” (Q.S. Albaqoroh 223).
Kesimpulanya, pada dasarnya seorang istri dibebaskan dari kewajiban bekerja dan berusaha menutupi kebutuhannya apalagi kebutuhannya apalagi kebutuhan keluarganya, karena itu merupakan kewajiban bagi laki – laki (suami) bahkan, jika suami tidak menunaikan kewajiban tersebut, maka istri boleh menuntutnya seperti yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.
Sebenarnya karakter penciptaan wanita adalah untuk menjadi ibu.
Pekerjaan penting sebagai sosok figur utama anak – anaknya, calon generasi mendatang. Bahkan seorang pengasuh atau pendidik anak , tak akan mampu sepenuhnya untuk menggantikan peranan seorang ibu. Dr. ida elen berkata:
penelitian telah membuktikan, bahwa penting sekali bagi seorang ibu untuk berada di rumah untuk mendidik nanak – anak mereka”.
Kini dapat dilihat besarnya tingkat perbedaan budi pekerti generasi saat ini dengan generasi yang dulu, kemungkinan penyebab semua itu kembali pada realita wanita yang pergi bekerja dan meninggalkan anak – anaknya. Harus diakui, bahwa keberadaan wanita di rumah adalah sebagai pengatur dan pemantau rumah tangganya.
Kesuksesan dari tugas – tugasnya akan sangat lebih jika sepenuhnya ia berada di rumah dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk kewajiban itu sendiri. Hal ini juga akan berdampak positif bagi suami maupun anak – anaknya dimana ia akan menjadi sandaran dan pendengar yang baik bagi suami dan anaknya saat mereka pulang kerumah dengan tanpa terbebani hal lainnya, sekaligus mampu menjalankan kewajiban, rutinitas dan tugas seorang istri semaksimal mungkin. Namun, bukan berarti seorang wanita dilarang untuk keluar rumah sama sekali.
Tak ada nash yang dzohir tentang larangan tersebut. Pada intinya, seorang wanita tidak dilarang untuk keluar rumah, baik untuk belajar, bekerja, maupun aktifitas – aktifitas yang bersifat sosial maupun pribadi, selama ia tidak mengabaikan posisi dan tanggung jawabnya dalam mengatur rumah tangganya, serta mendapat ridlo dan izin suaminya.
Ditambah keharusan melaksanakan batasan – batasan yang harus dipenuhinya, sebagai wanita muslimah sudah seharusnya menjadikan agama sebagai kompas kehidupannya dan tidak membiarkan logika menguasainya. “jangan sampai logika mengalahkan keimanan” itulah yang harus ditancapkan dalam hati. Boleh seorang berlogika, mengembangkan kemampuan logikanya, tapi sekali lagi, tidak semua hal di dunia ini bisa dilogika.
Namun dengan keimanan, seseorang akan mampu berjalan dengan tenang, karena kepercayaan dalam hatinya yang mungkin logikanya sendiri tak mampu menjangkaunya.
Tim Redaksi
dari berbagai sumber